Peran Guru Dalam Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan
M. Miftah. M.Pd.
Balai Pengembangan Multimedia Semarang, Pustekkom, Depdiknas
Jl. Lamongan Tengah, Bendan Ngisor, Sampangan, Semarang,
hasanmiftah@yahoo.com
Abstrak :
Teknologi
informasi dan komunikasi (TIK) telah menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan era global saat ini. Untuk mendorong kesiapan
SDM di era global melalui pendidikan di sekolah, pengintegrasian TIK ke
dalam sistem pembelajaran perlu dilakukan untuk 1) mengembangkan
kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa; 2) mengembangkan keterampilan
dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi (ICT literacy) itu
sendiri; dan 3) untuk meningkatkan efektifitas, efisiensi dan
kemenarikan kegiatan belajar mengajar.
Secara operasional, sistem
instruksional memerlukan teknologi informasi dan komunikasi (TIK)
sebagai media penyampaian, dasar pijakan aplikasi, dan kemungkinan
pengembangan sistem. Peranan TIK dalam system pembelajaran dapat
mempermudah interaksi antara peserta didik dengan materi pelajaran.
Demikian juga interaksi antara peserta didik dengan pendidik/instruktur
maupun antara sesama peserta didik dapat saling berbagi informasi atau
pendapat mengenai berbagi hal yang menyangkut pelajaran ataupun
kebutuhan pengembangan diri peserta didik. Namun dalam prakteknya, belum
semua guru memahami apa yang dimaksud dengan mengintegrasikan TIK ke
dalam sistem pembelajaran. Artikel ini memaparkan tentang apa, mengapa,
dan bagaimana peranan TIK dalam sistem pembelajaran di sekolah.
Kata kunci : teknologi informasi dan komunikasi, sistem pembelajaran
PENDAHULUAN
Sebagian
besar orang tua zaman dulu menjadikan profesi guru sebagi idaman bagi
anak-anaknya, karena posisi itu memiliki nilai lebih di mata masyarakat.
Ini tercermin misalnya , pada kebanyakan orang Jawa, sebutan mas atau
pak guru masa itu merupakan sebutan yang sangat istimewa sekaligus
sebutan yang mengandung makna penghormatan. Bahkan, sejak jaman
penjajahan atu awal kemerdekan, profesi guru disanjung-sanjung. Guru
memiliki strata social yang begitu menjulan gsehingga mencucuk atap
langit. Apalagi di desa-desa, sosok guru bias dikatakan setara dengan
kaum priayi, penuh wibawa dan cukup disegani. Tidak mengherankan kalau
waktu itu setiap orng tua menginginkan anak-anaknyamenjadi guru. Namun
hal itu berbeda sekali dibandingakn dengan posisi guru zaman sekarang .
Belakangan ini, profesi guru dipandang sebagai pelabuhan terakhir dari
para lulusan sekolah guru yang serba pas-pasan. Bahkan banyak orang tua
yang ogah mendorong anaknya untuk menjadi guru. Selain gajinya yang
minim, wajh profesi ini sering kali tercoreng oleh sebagian oknum guru.
Sebagi contoh, ada guru yang memperkosa siswanya sendiri, menganiaya
anak didik, pilih kasih, tidak adil, dan masih banyak kasus yang
‘memilukan’ lainnya. Belum lagi profesionalisme guru di Indonesia
umumnya tidak tampak. Seperti disinggung mantan Mendiknas Wardiman
Djoyonegoro ketika diwawancarai sebah stasiuntelevisi, beberapa waktu
lalu, bahwa sebagian besar guru (57%) tidak atau belum memenuhi syarat,
tidak kompeten, dan tidak professional.Keruan saja kualitas pendidikan
kita jauh dari harapan dan kebutuhan. Persoalannya, banyk guru sekarang
yasng malas untuk mempelajasi semua hal yang berkaitan dengan bidangnya
masing-masing, dan ini berdampak pada kemandekan kreativitas dan mutu
dalam pembelajaran. Buntutnya, pendidikan kita kurang berpengaruh
langsung pada kehidupan pribadi dan watak pesrta didik. Dalam kehidupan
sehari-hari, sering kita saksikan (baik melalui media cetak maupun
elektronik) berbagai kejahatan yang dilakukan anak-anak yang masih
berusia belasan than. Diantara mereka telah menjadi generasi muda yang
kerdil, mengambang, banyak omong tapi otaknya ompong, tahunya Cuma
obat-obatan telarang, yang kreativitsnya hanya melulu di dunia hiburan.
Memang, kondisi lingkungan sekitar selama ini kurang kondusif bagi dunia
pendidikan. Lihat saja, krisis keteladanan, moral, dan spiritual kian
merebak dimana-mana. Tontonan acara-acara televise yang menyesatkan dan
tidak sesuai dengan usia anak-anak semakin memperburuk wajah pendidikan
kita.. Menhadapi keadaan demikian, upaya peningkatan profesionalisme
guru dalam dunia pendidikan merupakan langkah awal yang tidak bias
ditawar. Hal itu mengingat peran guru daharapkan bias menciptakan
pendidikan yang membebaskan masyarakat dari keterpurukan, kemiskinan,
dan berbagi krisis yang tengah melanda seluruh elemen bangsa ini.
PERAN DAN FUNGSI GURU
Guru
ataupun dikenali juga sebagai “pengajar”, “pendidik”, dan “pengasuh”
merupakan tenaga pengajar dalam institusi pendidikan seperti sekolah
maupun tiusyen (kelas bimbinangan) yang tugas utamanya mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi
peserta didik. Guru sebagai pengajar
Ialah orang yang memiliki
kemampuan pedagogi sehingga mampu mengutarakan apa yang ia ketahui
kepada peserta didik sehingga menjadikan kefahaman bagi peserta didik
tentang materi yang ia ajarkan kepada peserta didik. Seorang pengajar
akan lebih mudah mentransfer materi yang ia ajarkan kepada peserta
didik, jika guru tersebut benar menguasai materi dan memiliki ilmu atau
teknik mengajar yang baik dan sesuai dengan karakteristik pengajar yang
professional. Sebagai contoh pengajar yang kompeten sehingga berhasil
mencetak siswa-siswa yang pandai dan menguasai materi adalah Yohanes
Surya. Proses pembelajaran (learning proses) yang dilakukannya dalam
membimbing tim olimpiade fisika menuju keberhasilan di tingkat
internasional bias dijadikan sebagai salah satu model pembelajaran bagi
guru-guru lainnya. Tidak tanggung-tanggung, mesti para siswa itu hanya
berpendidikan SMA dan satu diantaranya berpendidikan SMP, ilmu yang
dipelajari selama masa bimbingan dalam beberapa aspek setara dengan
pengetahuan pascasarjana. Sehingga dengan kefahaman dan kesiapan yang
matang, para siswa tidak canggung dalam menyelesaikan soal-soal yang
diberikan dalam kompetisi olimpade.
Guru sebagai pendidik
Pendidik
adalah seiap orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk
mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi (Sutari Imam Barnado,
1989:44). Sehinggga sebagai pendidik, seorang guru harus memiliki
kesadaran atau merasa mempunyai tugas dan kewajiban untuk mendidik.
Tugas mendidik adalah tugas yang amat mulia atas dasar “panggilan” yang
teramat suci. Sebagai komponen sentral dalam system pendidikan, pendidik
mempunyai peran utama dalam membangun fondamen-fondamen hari depan
corak kemanusiaan. Corak kemanusiaan yang dibangun dalam rangka
pembangunan nasional kita adalah “manusia Indonesia seutuhnya”, yaitu
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, percaya
diri disiplin, bermoral dan bertanggung jawab. Untuk mewujudkan hal itu,
keteladanan dari seorang guru sebagai pendidik sangat dibutuhkan.
Dapat
dikatakan bahwa guru dalam proses belajar mengajar mempunyai fungsi
ganda, sebagai pengajar dan pendidik. Maka guru secara otomatis
mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mencapai kemajuan pendidikan.
Begitu besarnya peranan guru sebagi pengajar dan pendidik, maka harus
diakui bahwa kemajuan pendidikan di bidang pendidikan sebagian besar
tergantung pada kewenangan dan kemampuan staff pengajar (guru).
Pendidikan Indonesia akan maju jika staff pengajar (guru) sebagai
kemampuan sentral dalam system pendidikan memiliki kualitas yang baik
pula. Pendidikan Indonesia memerlukan guru yang memiliki kompetensi
mengajar dan mendidik yang inovatif, kreatif, manusiawi, cukup waktu
untuk menekuni tugas profesionalnya, dapat menjaga wibawanya di mata
peserta didik dan masyarakat (menjaga “profesionalitas conscience”) dan
mampu meningkatkan mutu pendidikan. Untuk mendapatkan guru yang
demikian, dua hal yang perlu mendapatkan perhatian yaitu pendidikan
mereka (terutama pada pre-service training atau pemantapan program
pendidikan guru, bukan pada in training service) dan kesejahteraan
mereka .
Peningkatan kesejahteraan guru memiliki peran penting dalam
usaha memperbaiki pendidikan Indonesia yang sedang terpuruk. Bank Dunia
memberikan mutu guru guna memacu mutu pendidikan tidak akan berpengaruh
maksimal jika kesejahteraan tidak terpecahkan (Suroso. 2002). Selain
itu, peningkatan kesejahteraaan bisa berdampak positif pada usaha
pemberantasan korupsi di sekolah. Sebab, korupsi yang dipraktekkan guru
umumnya didorong factor kebutuhan (corruption by need). Untuk menyiasati
kecilnya gaji, mereka mengutip berbagai biaya ekstra dari murid,
seperti menjual soal ujian atau mengadakan kegiatan ekstrakurikuler.
Korban korupsi
Berkaitan
dengan korupsi, sangat menarik melihat posisi guru. Pada satu sisi,
masyarakat menempatkan mereka sebagai actor utama di balik mahalnya
biaya sekolah. Namun, di sisi lain, guru kerap dikerjai pejabat di
atasnya, seperti gaji atau honor kegiatan dipotong tanpa alas an.
Gambaran tersebut memberikan penjelasan bahwa sebenarnya guru merupakan
pelaku sekaligus korban korupsi. Namun, dua posisi tersebut tidak
berdiri sendiri karena yang menjadi penyebab guru melakukan korupsi
adalah korupsi atau perlakuan tidak adil pejabat di atasnya.
Setidaknya
ada tiga kondisi yang bisa menjelaskan hal itu. Yang pertama adalah
kenyataan bahwa pendapatan yang diterima guru tidak lebih besar
disbanding pengeluaran untuk mendudkung proses belajar-mengajar. Sebagai
contoh, sewaktu penulis mengajar di salah satu sekolah menengah pertama
swasta di Jakarta, biaya yang dikeluarkan setiap kali datang dan
membuat persiapan mengajar mencapai Rp 45 ribu, belum termasuk makan.
Sedangkan bayaran mengajar Rp 10 ribu per jam. Karena mengajar dalam
semingu hanya enam jam, total pendapatan yang diterima Rp 60 ribu setiap
bulan. Jika dihitung datang ke sekolah seminggu sekali, total
pengeluaran dalam satu bulan mencapai Rp 180 ribu (4 minggu dikali Rp 45
ribu), padahal gaji hanya Rp 60 ribu. Jadi setiap bulan deficit Rp 120
ribu. Alternatif menutup deficit dan kebutuhan hidup adalah mencari dana
ekstra dari siswa atau ngobyek di tempat lain, bisa di sekolah, bisa
juga di pangkalan ojek.
Kedua, guru bukan penentu kebijakan di
sekolah. Umumnya guru diposisikan sebagai pengajar yang bertugas
mentransfer pengetahuan kepada murid, sedangkan dalam penentuan
kebijakan akademis apalagi financial sering diabaikan. Hasil penelitian
Indonesian Corruption Watch pada beberapa kota di Indonesia secara umum
menunjukkan bahwa guru tidak mengetahui kebijakan apa saja yang
digulirkan sekolah. Bahkan banyak yang mengaku belum pernah melihat
bentuk anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS) di sekolahnya.
Padahal
keuangan sekolah, baik bersumber pada pemerintah, orang tua murid,
maupun pihak lain, dicantumkan dalam APBS. Karena itu, agar bisa
melakukan korupsi, terlebih dahulu mesti mengetahui APBS. Dengan
demikian, guru, yang umumnya tidak ikut merencanakan dan mengelola
keuangan, kecil kemungkinan menjadi aktor di balik maraknya korupsi di
sekolah.
Ketiga, guru merupakan mata rantai terlemah di antara
penyelenggara pendidikan lain sehingga selalu menjadi korban mata rantai
yang lebih kuat, seperti kepala sekolah dan pejabat dinas pendidikan.
Selain guru menjadi korban obyekan atasan, porsi anggaran atau
pendapatan yang diperoleh pun biasanya kecil. Penelitian Indonesian
Corruption Watch pada APBS beberapa sekolah di Jakarta dan Tangerang
memperlihatkan bahwa alokasi anggaran untuk guru tidak mencapai setengah
porsi untuk kepala sekolah.
Secara ekonomi, penikmat hasil korupsi
bukanlah guru. Nasibnya seperti istilah orang lain yang makan nangka,
tapi guru yang terkena getahnya. Stigma biang keladi korupsi di sekolah
membuat citra guru jatuh di hadapan orang tua dan murid. Padahal
tuntutan profesinya bukan hanya kemahiran dalam menyampaikan materi
pelajaran, tapi juga keterampilan untuk menjadi contoh. Guru korup
adalah guru buruk dan guru buruk tidak bisa dijadikan contoh.
Karena
itu, guru sebenarnya memiliki kepentingan ikut memberantas korupsi,
khususnya di sector pendidikan. Sebab, selain dapat mengembalikan citra,
apa yang mereka lakukan akan menjadi pembelajaran sangat efektif, tidak
hanya bagi murid, tapi juga bagi masyarakat umum. Usaha memberantas
korupsi bisa diawali dengan perjuangan memperbaiki nasib guru sendiri.
Peluang tersebut sangat terbuka dengan mendorong Undang-Undang Guru
sesuai dengan tujuan awal: mengangkat harkat dan derajat guru. Walau
undang-undang itu sudah disahkan, peluang perbaikan belum tertutup.
MUTU PENDIDIKAN
Dalam
rangka umum, mutu mengandung makna derajad (tingkat) keunggulan suatu
produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa, baik yang
tangible maupun yang intangible. Dalam konteks pendidikan, pengertian
mutu, dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan.
Dalam “proses pendidikan” yang bermutu, terlibat berbagai input,
seperti bahan ajar (kognitif, afektif dan psikomotorik), metodologi
(bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan
administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta
menciptakan suasana yang kondusif. Manajemen sekolah, dukungan kelas
berfungsi mensinkronkan berbagai input tersebut. Antara lain
mensinergikan semua komponen dalam interaksi (proses) belajar mengajar,
baik antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelas maupun di luar
kelas, baik konteks kurikuler maupun ekstra-kurikuler, baik dalam
lingkup subtansi yang akademis maupun non akademis dalam suasana yang
mendukung proses pembelajaran.
Mutu dalam konteks “hasil Pendidikan”
mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu
tertentu (apakah tiap akhir cawu, akhir semester, akhir tahun, 2 tahun,
atau 5 tahun bahkan 10 tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil
pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil tes kemampuan
akademis (misal : ulangan harian, ujian semester atau ujian nasional).
Dapat pula prestasi di bidang lain seperti prestasi di suatu cabang
olahraga, seni atau keterampilan tambahan tertentu. Bahkan prestasi
sekolah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible)
seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan dan
lain-lain.
Antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling
berhubungan. Akan tetapi agar proses yang baik itu tidak salah arah,
maka mutu dalam artian hasil (output) harus dirumuskan lebih dahulu oleh
sekolah, dan harus jelas target yang akan dicapai untuk setiap kurun
waktu lainnya. Beberapa input dan proses harus selalu mengacu pada mutu
hasil (output) yang ingin dicapai. Dengan kata lain, tanggung jawab
sekolah dlam school based quality improvent bukan hanya pada proses,
tetapi tanggung jawab akhirnya adalah pada hasil yang dicapai. Untuk
mengetahui hasil/prestasi yang dicapai oleh sekolah terutama yang
menyangkut aspek kemampuan akademik(kognitif) dapat dilakukan
benchmarking (menggunakan titik acuan standar nilai).
Mutu Pendidikan Indonesia
Pembangunan
Pendidikan Indonesia mendapat roh baru dalam pelaksanaanya sejak
disahkannya Undang-Undang No 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Selaras dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasinal maka
Visi Pembangunan Pendidikan Nasional adalah “Terwujudnya Manusia
Indonesia Yang Cerdas, Produktif, dan Berakhlak Mulia”. Beberapa
indicator yang menjadi tolok ukur keberhasilan dalam pembangunan
pendidikan nasional : a). Sistem pendidikan yang efektif, efisien. b).
Pendidikan nasional yang merata dan bermutu. c). Peran serta masyarakat
dalam pendidikan. Dan lain-lain.
Keberhasilan tim olimpiade di kancah
internasional dalam meraih medali, belum cukup untuk dijadikan sebagai
tolok ukur keberhasilan pendidikan di tanah air. Karena keberhasilan
tersebut hanya dicapai oleh beberapa siswa saja dari jutaan siswa
Indonesia yang sebagian besar dapat dikatakan kualitasnya masih kurang.
Kenyataan ini terindikasi dari standar nilai kelulusan (dalam ujian
nasional yang masih diperdebatkan keberadaannya) dari tiga mata
pelajaran yang diujikan (Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan
Matematika) nilai kelulusan yang ditetapkan minimal 4,25. Sedangkan kita
lihat negara-negara lain seperti Malaysia memakai standar nilai
kelulusan 6 dan Singapura 8 dan posisi Indonesia hanya sebanding dengan
Filipina (Koran Tempo, 17 Juli 2006).
PERAN GURU TERHADAP PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN
Guru
dalam proses belajar mengajar mempunyai fungsi ganda, sebagai pengajar
dan pendidik, maka guru secara otomatis mempunyai tanggung jawab yang
besar dalam mencapai kemajuan pendidikan. Secara teoritis dalam
peningkatan mutu pendidikan guru memilki peran antara lain : (a) sebagai
salah satu komponen sentral dalam system pendidikan, (b) sebagai tenaga
pengajar sekaligus pendidik dalam suatu instansi pendidikan (sekolah
maupun kelas bimbingan), (c) penentu mutu hasil pendidikan dengn
mencetak peseta didik yang benar-benar menjadi manusia seutuhnya yaitu
manusia yang beriman danbertaqwa kepada Tuhan YME, percaya diri,
disiplin, dan bertnggung jawab, (d) sebagai factor kunci, mengandung
arti bahwa semua kebijakan, rencana inovasi, dan gagasan pendidikan yang
ditetapkan untuk mewujudkan perubahan system pendidikan, dalam rangka
mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan, (e) sebagai pendukung serta
pembimbing peserta didik sebagai generasi yang akan meneruskan estafet
pejuang bangsa untuk mengisi kemerdekaan dalam kancah pembangunan
nasional serta dalam penyesuaian perkembangaanjaman dan teknologi yang
semakin spektakuler, (f) sebagai pelayan kemanusiaan di lingkungan
masyarakat, (g) sebagai pemonitor praktek profesi. Yang menjadi
pertanyaan sekarang ini adalah Benarkah guru sebagai penentu
keberhasilan pendidikan Indonesia?.
Mencermati dan memperhatikan
Pendidikan di Indonesia, timbullah suatu permasalahan yang menjadi
permasalahan nasional, terutama menyangkut masalah standar kelulusan
siswa baik yang masuk SMP, SMA maupun Perguruan Tinggi dan lain-lain.
Kelulusan siswa tidak ditentukan oleh guru yang memantau dan mendidik
serta membimbing dan membina anak didik selama 3 tahun dalam proses
belajar dan mengajar, tetapi cukup ditentukan dengan hasil UN selama 2
jam yang sudah ditentukan standar nilai minimumnya. Suatu hal yang tidak
logis untuk menilai seseorang mampu dan tidak mampu hanya dari satu
aspek saja yaitu aspek kognitif, sedangkan intelektual yang bermoral
merupakan proses yang diamati dan dinilai oleh orang yang membmbing,
orang yang membina di sini peran guru dikebirikan. Beberapa kasus
terjadi, ada seorang siswa yang sering menjuarai berbagai olimpiade
sampai tingkat Nasional, berperilaku baik dan santun namun pada saat
kelulusan ia dinyatakan tidak lulus. Di sisi lain ada seorang siswa yang
kurang baik dalam berperilaku, sering bolos dan tidak sopan, namun ia
mendaat nilai tertinggi saat kelulusan. Sungguh ketidak adilan dalam hal
ini sangat menonjol.
Di sinilah permasalahan pendidikan di Indonesia
yang memunculkan suatu pertanyaan terhadap kelulusan siswa yang hanya
ditentukan oleh 3 materi Ujian Nasional, sedangkan materi lain dan
keaktifan serta intelektual siswa lainnya yang menyangkut aspek afekti
dan psikomotorik siswa tidak dinilai. Jadi peran guru sebagai pengajar
sekaligus pendidik disini kurang menentukan hasil pendidikan jika tolok
ukurnya masih demikian.
“Guru kencing berdiri murid kencing berlari”.
Pepatah ini dapat memberi kita pemahaman bahwa betapa besarnya peran
guru dalam dunia pendidikan pada saat masyarakat mulai menggugat
kualitas pendidikan yang dijalankan di Indonesia maka akan banyak hal
terkait yang harus dibenahi. Masalah sarana dan prasarana pendidikan,
sisitem pendidikan, kurikulum, kualitas tenaga pengajar (guru dan
dosen), dll.
Secara umum guru merupakan factor penentu tinggi
rendahnya kualitas hasil pendidikan. Namun demikian posisi strategis
guru untuk meningkatkan mutu hasil pendidikan sangat dipengaruhi oleh
kemampuan professional, factor kesejahteraan, dll.
KESIMPULAN
Dalam
peningkatan Mutu Pendidikan, guru memiliki peran antara lain : (a)
sebagai salah satu komponen sentral dalam system pendidikan, (b) sebagai
tenaga pengajar sekaligus pendidik dalam suatu instansi pendidikan
(sekolah maupun kelas bimbingan), (c) penentu mutu hasil pendidikan
dengn mencetak peseta didik yang benar-benar menjadi manusia seutuhnya
yaitu manusia yang beriman danbertaqwa kepada Tuhan YME, percaya diri,
disiplin, dan bertnggung jawab, (d) sebagai factor kunci, mengandung
arti bahwa semua kebijakan, rencana inovasi, dan gagasan pendidikan yang
ditetapkan untuk mewujudkan perubahan system pendidikan, dalam rangka
mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan, (e) sebagai pendukung serta
pembimbing peserta didik sebagai generasi yang akan meneruskan estafet
pejuang bangsa untuk mengisi kemerdekaan dalam kancah pembangunan
nasional serta dalam penyesuaian perkembangaanjaman dan teknologi yang
semakin spektakuler, (f) sebagai pelayan kemanusiaan di lingkungan
masyarakat, (g) sebagai pemonitor praktek profesi.
Proses
belajar mengajar pada dasarnya merupakan satu bentuk komunikasi yang
terjalin antara komunikator dalam hal ini pengajar yang menyalurkan
pesan berupa materi pengajaran kepada komunikan yaitu pelajar melalui
media lisan atau dengan bantuan teknologi komunikasi lain, sebagai
akibatnya pelajar tahu materi yang disampaikan dan melaksanakannya dan
inilah tujuan utama dari proses belajar mengajar.
Kemampuan/keterampilan
guru dalam melakukan kegiatan komunikasi akan mempengaruhi proses yang
akhirnya berujung pada hasil. Bukan berarti murid yang cerdas disebabkan
oleh kemampuan guru dalam melakukan komunikasi. Setidaknya murid yang
kurang pandai mampu menelaah pesan/gagasan yang ditransfer dalam proses
komunikasi yang baik oleh seorang guru yang terampil.